Alam Takambang Jadi Guru: Filosofi Minangkabau dalam Pengembangan Budaya Literasi dan Pendidikan Moderasi Beragama di Lingkungan Madrasah | Sumbarpro

Alam Takambang Jadi Guru: Filosofi Minangkabau dalam Pengembangan Budaya Literasi dan Pendidikan Moderasi Beragama di Lingkungan Madrasah

by Redaksi
A+A-
Reset

Oleh: Irdawati, S.Pd.,M.A. (Alumnus Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta, Guru MAN 3 Padang)

MINANGKABAU adalah salah satu kelompok etnis di Indonesia yang mendiami pada umumnya wilayah Sumatera Barat. Kelompok etnis ini memiliki budaya dan ragam sejarah dengan ciri khas budaya matrilinealnya. Keragaman etnis, budaya, dan sejarah ini senantiasa dijaga dan dipertahankan melalui adat-istiadatnya yang kaya dengan nilai-nilai lokal, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan harmoni.

Budaya Minangkabau yang unik ini menjadi wadah yang penting untuk pendidikan moderasi beragama dengan menjadikan filosofi ‘Alam Takambang Jadi Guru’ sebagai panduan utama. ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)’ telah menjadikan budaya masyarakatnya sebagai pilar penting dalam memahami dan menjalankan agama Islam secara moderat, menjunjung tinggi alam dan tradisi yang terintegrasi dengan nilai-nilai agama.

Artikel ini akan menguraikan (1) filosofi ‘Alam Takambang Jadi Guru’ sebagai landasan pendidikan di Minangkabau dan (2) pengembangan budaya literasi dalam memperkuat pesan-pesan harmoni dalam konteks kehidupan di madrasah, (3) peningkatan pendidikan moderasi beragama melalui filosofi Minangkabau

FILOSOFI ‘ALAM TAKAMBANG JADI GURU’

‘Alam Takambang Jadi Guru,’ menyiratkan bahwa alam dengan semua keberlimpahan dan kebijaksanaannya adalah guru yang utama. Alam bukan hanya sumber pengetahuan, tetapi juga landasan moral bagi masyarakat Minangkabau. Dalam hal ini, alam dianggap sebagai guru yang memberikan pelajaran tentang cara hidup yang baik, bersikap bijaksana, dan menjalani kehidupan yang harmonis. Pentingnya alam sebagai sumber ajaran etika dan moral dalam budaya Minangkabau tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat baik dalam bidang pertanian, pengelolaan hukum adat, upacara adat dan ritual, kebijakan dan aturan dalam pengelolaan sumber daya alam, maupun dalam bentuk pelestarian lingkungan dan konservasi.

Sebagai contoh, di Minangkabau, para petani sangat bergantung pada alam. Para petani memahami bahwa untuk mencapai hasil panen yang baik, mereka harus menjaga tanah dan lingkungan secara baik juga. Hal ini mencerminkan prinsip etika dan moral serta tanggung jawab terhadap alam. Selain itu, pada umumnya, petani Minangkabau menggunakan metode organik, penanaman berundak, dan irigasi tradisional untuk menjaga kesuburan tanah dan menghindari kerusakan lingkungan.

Selanjutnya, Filosofi “Alam Takambang Jadi Guru” dapat kita amati pada pengelolaan hutan adat. Masyarakat Minangkabau memiliki hutan adat yang dikelola secara bijaksana. Bagi masyarakat Minangkabau, hutan adalah sumber daya penting memuat etika dan moral yang mesti dijaga dan dipelihara untuk keberlanjutan pada masa yang akan datang. Praktik menjaga hutan adat dilakukan dengan cara menanami hutan adat dengan berbagai macam pekayuan, obat-obatan, dan tak jarang juga dijadikan tempat spiritual untuk ritual adat. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Minangkabau sangat menjaga dan menghormati alam sebagai sumber kehidupan.

Masyarakat Minangkabau menyadari bahwa penggunaan yang berlebihan atau merusak alam dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Praktik memanfaatkan sumber daya alam seperti kayu, ikan, dan hasil hutan lainnya harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan dan menjaga alam agar tidak terlalu merusak lingkungan ekosistem alam.

PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI

Pengembangan budaya literasi dapat menjadi sarana yang kuat dalam menghidupkan filosofi ‘Alam Takambang Jadi Guru.’ Madrasah sebagai lembaga pendidikan tertua di Minangkabau telah mengadopsi strategi pendidikan yang menekankan pentingnya literasi dalam memahami dan menghargai nilai-nilai adat dan agama. Literasi tidak hanya berarti kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk mengakses, memahami, dan menerapkan pengetahuan dari berbagai sumber. Literasi memungkinkan siswa untuk memahami dan menghargai nilai-nilai adat dan agama, sekaligus menjembatani tradisi lisan, buku, dan pengetahuan masyarakat yang bersifat lokal, nasional, maupun global. Adapun bentuk-bentuk pengembangan literasi di Minangkabau dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut.

(1) Penghargaan Terhadap Literasi Lisan 

Literasi lisan adalah bagian penting dari budaya Minangkabau mencakup kemampuan mendengarkan, menghafal, dan menyampaikan cerita-cerita ini dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contoh, Seorang tua memberi ceramah tentang nilai-nilai adat dan cerita leluhur kepada anaknya, dan anak tersebut mendengarkan dengan penuh perhatian, menjadikan literasi lisan sebagai cara memahami budaya dan etika adat.

(2) Pengembangan Literasi Buku dan Tulisan 

Madrasah di Minangkabau memberikan pelatihan literasi formal kepada siswa yang mencakup kemampuan membaca, menulis, dan memahami teks-teks agama dan budaya. Contoh, Siswa belajar membaca dan menginterpretasikan teks-teks agama seperti Al-Quran atau hadis. Mereka juga mempelajari buku-buku yang mencakup nilai-nilai etika dan moral dalam agama dan budaya Minangkabau.

(3) Penggunaan Media Digital dan Teknologi 

Literasi modern melibatkan penggunaan media digital dan teknologi. Di Minangkabau, masyarakat juga mengadopsi teknologi untuk memahami dan memelihara budaya dan agama mereka, seperti mengeksplorasi materi-materi pendidikan dan keagamaan secara online. Contoh: Siswa-siswa dapat mengakses bahan-bahan pendidikan, rekaman ceramah agama, dan literatur digital yang berkaitan dengan budaya Minangkabau dan keagamaan melalui internet.

(4) Partisipasi dalam Upacara Adat dan Ritual Agama 

Literasi juga mencakup pemahaman tentang tata cara dan makna upacara adat dan ritual agama. Siswa diajarkan bagaimana menjalani upacara ini dengan pemahaman dan penghormatan yang mendalam. Contoh: Siswa memahami makna upacara pengucapan syukur saat panen berhasil dan mengerti bahwa upacara ini adalah ekspresi terima kasih kepada alam dan Tuhan atas berkah yang diberikan.

(5) Pengembangan Pengetahuan Kelompok dan Unsur Masyarakat Adat 

Literasi melibatkan pengumpulan pengetahuan dari orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman dalam masyarakat yang mencakup pengembangan dan pewarisan nilai-nilai budaya dan ajaran adat. Contoh: Siswa mungkin akan belajar dari para tetua dan orang tua mereka tentang nilai-nilai adat Minangkabau, seperti cara berbicara sopan, tata krama, dan etika dalam berinteraksi dengan sesama.

PENINGKATAN PENDIDIKAN MODERASI BERAGAMA MELALUI FILOSOFI MINANGKABAU

Di tengah dunia yang semakin terglobalisasi, menjaga nilai-nilai lokal dan menjalankan agama dengan moderasi menjadi semakin penting. Filosofi Minangkabau, ‘Alam Takambang Jadi Guru,’ memberikan panduan berharga tentang berbagai upaya kebijaksanaan lokal dapat memperkaya pendidikan dan membentuk generasi muda yang penuh toleransi.

Dalam kata-kata bijak Minangkabau, ‘Bamulai dari udaro, sadonyo dari nan tawaro,’ yang berarti ‘Semuanya dimulai dari langit, berasal dari yang di bawah.’ Ini mencerminkan bahwa dalam memahami dan menghargai kearifan lokal dan agama, penting untuk mengakui bahwa semuanya bersumber dari yang lebih tinggi. Alam, sebagai guru, memberikan arahan kepada manusia untuk menjalani hidup secara bijaksana.

Dalam masyarakat Minangkabau, Madrasah memegang peran utama dalam menghidupkan filosofi ini. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan membantu siswa dalam memahami dan menghormati nilai-nilai lokal dan agama. Melalui pengembangan budaya literasi, siswa belajar tidak hanya dari buku-buku, tetapi juga dari cerita nenek moyang, tradisi lisan, dan pengalaman tetua masyarakat dan adat yang pada akhirnya akan menciptakan generasi muda yang terlatih dalam keselarasan budaya lokal dan agama. Hal ini sejalan dengan pernyataan Buya Hamka, seorang ulama terkenal asal Minangkabau, ‘Jadikanlah Islam sebagai pakaian, dan budaya Minangkabau sebagai jasnya.’ Pernyataan ini mencerminkan filosofi Minangkabau yang mengajarkan bahwa masyarakat Minangkabau seyogyanya dapat memadukan nilai-nilai agama dan budaya lokal secara harmoni.

Minangkabau adalah contoh nyata tentang bagaimana filosofi lokal, Islam moderat, dan budaya literasi dapat berpadu dengan indahnya dalam pendidikan. Dengan menjadikan ‘Alam Takambang Jadi Guru’ sebagai panduan, Minangkabau membuktikan bahwa budaya dan agama dapat bersatu dalam harmoni, dengan dunia yang terus berubah, menginspirasi cara memegang teguh identitas kultural sambil menjalani agama dengan penuh kasih sayang dan harmoni. Identitas budaya yang kuat dan ajaran agama yang moderat dapat tumbuh subur secara berdampingan tanpa ada konflik antara keduanya.

Sebagai penutup uraian ini dapat disimpulkan bahwa Minangkabau telah memberikan dunia contoh inspiratif yang nyata tentang bagaimana budaya, agama, dan pendidikan dapat bersatu dalam keharmonisan. Minangkabau telah menunjukkan bahwa alam adalah guru yang bijaksana. Kearifan lokal dapat diterapkan dalam konteks modern dan moderasi beragama adalah kunci untuk hidup dalam damai. Untuk itu, Madrasah memiliki peran penting dalam menghidupkan filosofi “Alam Takambang Jadi Guru” sambil mengembangkan budaya literasi yang memungkinkan siswa menjalani pendidikan dengan nilai-nilai yang kokoh. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan kita, sehingga dunia dapat menjadi tempat yang lebih baik, lebih toleran, dan lebih berkelanjutan. *

Referensi Bacaan
  1. Bung Hatta. (2019). Kesusasteraan Minangkabau. Pustaka Bung Hatta.
  2. Hadi, S., & Hendri, Y. (2018). Integrasi budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 5(1), 75-89.
  3. Ismail, A. (2010). Islam dan Adat Minangkabau. Kanisius.
  4. Khoir, S. M. (2018). Budaya literasi dan perannya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Minangkabau. Jurnal Pendidikan Islam, 5(2), 152-168.
  5. Suryadi, I., & Lenggogeni, L. (2009). Pendidikan karakter: Menggagas pendidikan untuk mengembangkan budaya Minangkabau. Jurnal Pendidikan Karakter, 2(1), 51-67.