Jakarta, Sumbarpro
Selain berpuasa, umat Islam juga dikenakan kewajiban untuk menunaikan zakat fitrah di bulan Ramadhan. Zakat ini bisa dibayarkan pada awal Ramadhan hingga batas sebelum shalat Idul Fitri.
Ā
Soal pembayaran zakat fitrah ini kerap memunculkan pertanyaan bagi para perantau yang nantinya akan pulang ke kampung halaman. Bagaimana sebaiknya perantau membayar zakat fitrah, di tanah rantau atau di kampung halaman?
Ā
Mengutip tulisan SumbarproĀ yang berjudul āZakat Orang Perantauan Menunaikan Zakat Fitrah di Mana?ā Ustadz M. Ali Zainal Abidin menjelaskan bahwa para ulama Syafiāiyah memberikan ketentuan tentang tempat pendistribusian zakat fitrah dengan mengacu pada tempat di mana seseorang berada pada saat terbenamnya matahari di hari akhir bulan Ramadhan atau malam hari raya Id.
Ā
Dalam kitab Ghayah Talkhish al-Murad dijelaskan bahwa bagi orang yang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya Id, wajib baginya untuk membayar zakat fitrah di tanah rantaunya.
Ā
āZakat fitrah wajib (ditunaikan) di tempat di mana seseorang berada pada saat matahari (di hari akhir Ramadhan) tenggelam. Maka ia memberikan zakat fitrah pada orang yang berhak menerima zakat yang berada di tempat tersebut, jika tidak ditemukan, maka ia berikan di tempat terdekat dari tempatnyaā (Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Baālawi, Ghayah Talkhish al-Murad, hal. 43).
Ā
Berdasarkan penjelasan tersebut, menunaikan zakat fitrah yang benar adalah di tempat di mana seseorang berada. Ketika seseorang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya, maka ia harus menunaikan zakat pada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) yang ada di tempat tersebut. Jika ia berada di kampung halamannya, maka zakat fitrahnya diberikan pada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya.
Ā
Namun, pada kasus lain seperti orang yang berada di perantauan pada saat malam hari raya, dan mewakilkan kepada keluarganya di kampung halaman untuk membayarkan zakat fitrah atas dirinya, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang masalah naql az-zakat (memindahkan pengalokasian harta zakat). Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab al-Majmuā ala Syarh al-Muhadzab:
Ā
ŁŲ§Ł Ų£ŲµŲŲ§ŲØŁŲ§ Ų„Ų°Ų§ ŁŲ§Ł ŁŁ ŁŁŲŖ ŁŲ¬ŁŲØ Ų²ŁŲ§Ų© Ų§ŁŁŲ·Ų± ŁŁ ŲØŁŲÆ ŁŁ Ų§ŁŁ ŁŁŁ ŁŲ¬ŲØ ŲµŲ±ŁŁŲ§ ŁŁŁ ŁŲ„Ł ŁŁŁŁŲ§ Ų¹ŁŁ ŁŲ§Ł ŁŁŁŁ ŲØŲ§ŁŁ Ų§ŁŲ²ŁŁŲ§ŲŖ ŁŁŁŁ Ų§ŁŲ®ŁŲ§Ł ŁŲ§ŁŲŖŁŲµŁŁ Ų§ŁŲ³Ų§ŲØŁ
Ā
Perbedaan pendapat dalam menyikapi naql az-zakat dalam mazhab Syafiāi, yakni menurut pendapat yang unggul (rajih), memindah pengalokasian harta zakat adalah hal yang tidak diperbolehkan, sedangkan menurut sekelompok ulama yang lain, seperti Ibnu āUjail dan Ibnu Shalah memperbolehkan naql az-Zakat (Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Baālawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 217).
Ā