Salah satu amal jariyah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan investasi untuk menuju surga-Nya adalah dengan Wakaf. Tidak hanya itu, ternyata wakaf mempunyai potensi yang besar dalam pembangunan ekonomi. Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai penduduk yang menganut agama islam terbesar di dunia, dimana dilansir dari data Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2021, jumlah penduduk islam mencapai 86,9% dari penduduk Indonesia. Sehingga Indonesia memiliki potensi wakif dalam jumlah besar yang berkontribusi untuk mewakafkan sebagian dari hartanya. Terbukti dalam World Giving Index pada tahun 2022, Indonesia memempati peringkat atas sebagai negara paling dermawan di Dunia.
Pengelolaan wakaf di Indonesia masih dilakukan dengan sederhana dan belum produktif, dimana penduduk saat ini lebih mengenal jenis harta wakaf dalam bentuk benda tidak bergerak seperti tanah, masjid, panti asuhan, kuburan, Al-qur’an, dll. Sedangkan wakaf uang belum banyak dikenal dan diimplementasikan oleh masyarakat di Indonesia. Wakaf uang ini telah diperkuat dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 11 Mei 2002 tentang wakaf uang dan Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Wakaf uang merupakan wakaf yang berikan oleh wakif dalam bentuk uang tunai yang dikelola oleh nazir secara produktif lalu hasilnya dimanfaatkan oleh mauquf’alaih. Indonesia telah mempunyai Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen yang membawahi nazir dan mengawasi pengelolaan wakaf secara profesional dan transparan.
Dilansir dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) Kementrian Agama menyatakan bahwa potensi wakaf di Indonesia sebesar Rp2.000 triliun yang terdiri dari tanah wakaf seluas 420 ribu Ha dan wakaf uang sebesar Rp180 triliun. Namun kenyataannya pada Maret 2022 terakumulasi wakaf uang hanya mencapai sekitar Rp400 miliar. Hal ini disebabkan karena pertama, sosialisasi mengenai ketentuan dan mekanisme wakaf belum optimal dan menyebabkan tingkat literasi dan edukasi masyarakat mengenai wakaf sangat terbatas. Kedua, sulitnya pencatatan dan inventaris mengenai wakaf karena pengelolaan wakaf tidak disetorkan kepada lembaga resmi yang dibentuk pemerintah. Ketiga, pengelolaan wakaf uang kurang optimal dan cenderung bersifat konvensional, Keempat, mekanisme wakaf yang terkesan rumit dan panjang.
Dalam perspektif ekonomi, wakaf uang dapat memberikan efek multiplier dalam perekonomian dibandingkan wakaf konvensional, karena wakaf uang memiliki lukuiditas tinggi, fleksibel, dan berfungsi secara produktif untuk menghasilkan surplus tanpa mengurangi pokok wakaf. Wakaf uang merupakan terobosan terbaru dalam hal perwakafan dan berpotensi besar dalam peranannya merancang program-program pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat menjadi motor penggerak perekonomian bangsa. Dalam pelaksanaannya, wakaf uang yang berbentuk investasi dan hasil keuntungan dari investasi itu akan diberikan 90 persen untuk mauquf’alaih dan 10 persen untuk nazir sebagai pengelola aset wakaf. Dengan pengelolaan dan manajemen wakaf yang profesional, terciptanya peningkatan ekonomi untuk kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Oleh karena itu, diharapkan untuk kemampuan nazir yang berbobot, kompeten, dan profesional sesuai yang dibutuhkan dalam pengelolaan wakaf.
Wakaf uang di Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi ketimpangan daerah, dengan cara pemberdayaan otonomi daerah. Apabila hasil pengelolaan wakaf telah tercapai tujuannya di suatu daerah, maka surplus dari hasil pengelolaan wakaf uang tersebut dapat disalurkan ke luar wilayah yang masih kekurangan dana. Tidak hanya itu, potensi aset wakaf uang yang besar dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat Indonesia, seperti memberi bantuan modal usaha serta pelatihan untuk UMKM yang terdampak pandemi Covid-19 agar dapat bangkit kembali. UMKM yang terbantu dengan modal usaha dari wakaf uang dapat meningkatkan daya produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Bantuan dari wakaf uang juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang akan berdampak baik pada perekonomian itu sendiri.
Pada zaman Rasulullah SAW, wakaf menjadi salah satu instrument penerimaan negara dan memiliki kontribusi yang cukup tinggi, dimana nilai dari harta wakaf itu tidak akan berkurang dan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat agar kemaslahatan terpenuhi. Pengelolaan wakaf haruslah sesuai dengan tujuan yang diatur oleh islam melalui Al-Qur’an dan Hadits (maqashid syariah). Dengan meningkatkan penerimaan negara maka akan berdampak pada meningkatnya dana pembangunan dan infrastruktur yang dapat mengentaskan kemiskinan. Wakaf uang dapat mendukung program Sustainable Development Goals (SGDs), pengurangan pengangguran dengan diberikan pelatihan, pengurangan tingkat anak stunting, dll yang diharapkan pada tahun 2045 Indonesia mencapai tujuan menjadi Indonesia Emas.
Pentingnya penyempurnaan mengenai ketentuan, aspek kelembagaan dan aspek operasional teknis agar wakaf dapat menjadi instrument kebijakan fiskal. Peran aktif dan kerjasama antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat untuk mendorong pengembangan wakaf. Pada era digitalisasi saat ini, untuk berwakaf menjadi lebih mudah dan dapat dilakukan secara online maupun offline. Secara online, wakif dapat menyalurkan wakafnya dengan mobile banking atau ATM. Secara offline, wakif dapat menyalurkan wakafnya secara langsung ke Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Cukup dengan uang Rp10.000 maka sudah bisa berwakaf dan nantinya apabila telah mencapai nilai minimal Rp1 juta, maka nantinya wakif akan memperoleh Sertifikat Wakaf. Dana wakaf tersebut dikelola dengan baik, amanah, profesional, dan penuh pertanggung jawaban oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). *